Perkembangan koperasi di indonesia
Dalam
undang – undang No. 25 Tahun 1992 tentang pengkoprasian disebutkan bahwa
“Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang perorangan atau badan
hukum koperasi dengan melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi,
sehingga sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan”.
Tujuan
atas di dirikannya koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
I.
AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI
INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di
Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang.
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai
sekarang.
Perkembangan koperasi di Indonesia
mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha
secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim
lingkungannya.
Jikalau pertumbuhan
koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada
kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi.
kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi.
Perkembangan koperasi dari
berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju
kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha.
Koperasi serba usaha ini
mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan
terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama
dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan
konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi
1989, h. 1-2).
Pertumbuhan koperasi di
Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan pinjam.
di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan pinjam.
Untuk memodali koperasi
simpan - pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau
juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9).
Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka
uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya.
Kegiatan R Aria
Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas.
Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas.
Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara
Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman.
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi
simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman.
Setelah ia kembali dari cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam
sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja.
Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam yang dapat berkembang
ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari
zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga.
Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga
mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan
cara membuka toko – toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang
perkoperasian di
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda.
Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan
kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi
dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat
perkembangan koperasi.
Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no.
431 yang berisi antara lain :
a. Akte pendirian koperasi
dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat
dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari
Gubernur Jenderal ; dan di samping itu diperlukan biaya meterai f 50.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat (SKN) yang
beranggotakan 45 orang.
·
Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari.
·
Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji Manshur.
·
Bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di mana branndkas dilengkapi
dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota.
Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan
periode “nahdlatuttijar”. Proses permohonan badan hukum direncanakan akan
diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi.
Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi.
Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai
suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang
berbagai reaksi.
Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi
Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan.
Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk
Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan.
Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi.
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927
di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi.
Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di
bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres
koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk
meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi
di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan
Jawatan Koperasi dengan tugas :
a. Memberikan penerangan
kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. Dalam rangka peraturan
koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
c. Memberikan keterangan-keterangan
tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya
yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. Penerangan tentang
organisasi perusahaan;
e. Menyiapkan
tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42) DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
( Raka.1981,h.42) DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam
berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915.
Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa
dan
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya
untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan
bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan
koperasi.
Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara
lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H.
Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930
menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat.
Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun
1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak
7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang.
Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423
kopersi (=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940
h.82) sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis konsumsi ataupun produksi.
Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah
adalah koperasi lumbung.
Pada masa pendudukan bala
tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan
bala tentara Jepang di di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan
Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang
terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan
Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan
Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku.
Akan tetapi berdasarkan Undang-undang
No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang
pendirian perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada
peraturan tersebut , maka jikalau masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan
koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Maksud perkumpulan atau
persidangan, baik sifat maupun aturanaturannya.
b. Tempat dan tanggal
perkumpulan didirikan atau persidangan
diadakan.
diadakan.
c. Nama orang yang
bertangguing jawab, kepengurusan dan anggotaanggotanya.
d. Sumpah bahwa perkumpulan
atau persidangan yang bersangkutan
itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak
koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi
sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”.
Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi
perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan
masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi).
Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan
berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan
distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi
perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya : gula pasir, minyak tanah,
beras, rokok dan sebagainya).
Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan
barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji
jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu
masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”.
Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala
tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana
dilaksanakan pada zaman Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut
sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
II.
PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana
sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi
pertumbuhannya.
Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai
salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan
perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di
Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik.
Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan
tersebut adalah koperasi.
Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping
koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Swasta.
Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi
dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan
perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi
Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuantentang
koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi
Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuantentang
koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa
yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan
tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan
pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat.
Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat.
Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda
terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiunpada tahun 1948
banyak merugikan terhadap gerakan koperasi.
Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di
dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal
Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir sama dengan
Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana
ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Indonesia sehingga
tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950
program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.
Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat
yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut :
“Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa
koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak
dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”.
Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo
antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu :
a. Usaha untuk menciptakan
suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi
perkembangan gerakan koperasi.
perkembangan gerakan koperasi.
b. Usaha lanjutan dari perkembangan
gerakan koperasi.
c. Usaha yang mengurus
perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan
atas dasar koperasi.
atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program Pemerintahannya
sebagai berikut :
a. Untuk kepentingan
pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat
gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang
spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya
pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak
menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas perkreditan, yang
terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan
desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi”
(Sumodiwirjo 1954, h. 45 - 46).
b. Sejalan dengan kebijaksanaan
Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun
ketahun baik organisasi maupun usahanya.
c. Selanjutnya pada tanggal
15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke
II di Bandung.
Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi
Rakyat
Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI).
Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI).
Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan
Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan
yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera
diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta
sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres
Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping hal – hal yang
berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan
Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA).
Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi
No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669.
Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang - Undang Dasar.
Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958.
Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan
koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang
perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana
kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap pengembangan
perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pemerintahan Kolonial
Belanda bersikap pasif;
b. Pemerintahan Pendudukan
Balatentara Jepang bersikap aktif negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama
koperasi menjadi hancur (jelek);
c. Bersikap aktif positif di
mana Pemerintah Republik Indonesia memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan
bagi koperasi.
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat akhir
Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi setelah Indonesia
merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan angka-angka perkembangan koperasi
pada zaman Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar